Breaking

Monday, August 21, 2017

Mau Tahu ? Kenapa Kera Tidak Berevolusi Menjadi Manusia ?

Tim dari jurnalis sains yang ada di Washington Post pernah mendapat sebuah pertanyaan yang sangat menarik. Pertanyaannya seperti ini: “Mengapa tidak ada Hominini yang tersisa di muka bumi ini? Kalau memang evolusi selalu terjadi dan spesies selalu berubah dan beradaptasi, tidakkah kita seharusnya tahu serta bisa melihat spesies manusia baru yang merupakan hasil dari evolusi dari kera?”
Di Negara Indonesia pun, pertanyaan ini sangat sering sekali ditanyakan, meskipun memang sebenarnya ada banyak kesalahan yang ada di dalamnya. Pertama-tama, Homininii yang memang merupakan bahasa ilmiah untuk di berikan kepada sebutan manusia masih ada di bumi, yaitu kita yang disebut dengan Homo sapiens.

Serta, kita merupakan termasuk kelompok dari kera besar yang disebut sebagai keluarga taksonomi hominid atau hominidae. Dan juga neanderthal, australopitechus, manusia purba lainnya, orangutan, gorila, bonobo serta simpanse yang terlibat dalam evolusi dari nenek moyang yang sama sekitar 14 juta tahun yang lalu.
 
Oleh karena itu, dapat dibilang bahwasannya makhluk yang kini kita kenal adalah kera mereka bukanlah nenek moyang, tetapi saudara jauh kita. menururt Matt Tocheri, yang merupakan seorang dosen antropologi di Lakehead University serta peneliti dari Program Asal Manusia di National Museum of Natural History. “ Bertanya mengapa gorila tidak berevolusi menjadi manusia purba yang sama dengan pertanyaan mengapa anak-anak dari sepupu Kalian tidak mirip Kalian ”.

Tambahnya, makhluk-makhluk ini sudah ikut serta dalam memiliki garis keturunannya sendiri dan sudah selama 10 juta tahun. Mereka tidak dapat mundur kembali dan juga turun menjadi manusia. Tidak hanya itu, belum tentu para gorila, bonobo, simpanse, dan kera-kera modern lainnya ingin menjadi manusia.

Nina Jablonski, juga merupakan seorang paleoantropolog yang berasal dari Evan Pugh University menyebutkan bahwasannya evolusi tidak selinear dan seprogresif yang Kalian kira, meskipun sangat mudah untuk membayangkannya sebagai amoba bersel satu yang akan terus menerus berubah menjadi semakin kompleks hingga berakhir sebagai dari manusia.

Di dunia nyata ini, evolusi justru akan lebih condong ke arah menyederhanakan dan menghilangkan fitur-fitur tubuh yang memang dianggapnya tidak dibutuhkan.

Itulah kenapa dari makhluk-makhluk yang hidup di gua dan juga laut dalam kehilangan akan pengelihatannya, paus juga merupakan keturunan dari mamalia darat hampir kehilangan seluruh tulang yang ada pada kakinya. landak laut yang merupakan nenek moyangnya memiliki otak kini tidak memiliki sistem sistem saraf yang terdapat di pusat sama sekali.

Nina juga menambahkan, kalau evolusi merupakan usaha untuk bertahan hidup dalam berbagai kondisi tertentu, dan mutasi secara acak. Akan ada elemen yang mana keberuntungan yang berpihak cukup besar serta tidak ada elemen arah di yang terdapat dalamnya. Makhluk hidup hanya akan berusaha untuk terus beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.

Hal serupa pun pernah terlihat pada keberagaman Hominini di mana tahap evolusi awal. Australopithecus afarensis, contohnya, dalam berevolusi untuk memiliki pinggang layaknya seperti manusia agar dapat berjalan dengan menggunakan dua kaki dan agar dapat membawa benda. Kemampuan ini akan sangat - sangat diperlukan untuk mengumpulkan makanan di padang rumput nantinya.

Sementara itu, Paranthropus robustus yang sudah hidup di lingkungan kering dapat berevolusi untuk memiliki rahang yang sangat kuat agar dapat melakukan gunyah makanan yang begitu kerasnya, dan Homo habilis yang memiliki otak yang begitu besar akan membantu mereka dalam membuat alat-alat dari batu.

Namun, dengan seiring serta perkembangan alat-alat yang dapat dibuat, maka spesies Hominini yang lebih baru tidak lagi harus memilih antara gusi yang besar untuk mengunyah biji atau taring yang tajam untuk menyobek daging. Cukup dengan menggunakan alat yang mereka ciptakan, Hominini yang lebih modern sudah tercipta, bisa memotong makanan mereka dan mengonsumsinya.

Dan pada akhirnya, sebuah evolusi pun lebih memilih spesies dengan otak yang besar dan gigi yang lebih kecil untuk menciptakan lebih banyak alat yang bisa menolong mereka untuk berburu, menjelajah, dan menghindari dari ancaman.

Nina juga berkata bahwa ketika spesies kita yaitu (Homo sapiens) muncul sekitar 200.000 tahun yang lalu, kita pasti sudah dapat bertahan hidup dalam segala lingkungan dan juga segala kondisi. Dengan menggunakan alat-alat yang lebih canggih dari spesies lainnya, kita pun bisa bertahan hidup dan melalui berbagai perubahan iklim yang membunuh spesies Hominini lainnya.

Lalu, bagaimana dengan makhluk-makhluk yang kini kita sebut kera?

Menurut Nina Jablonski sendiri, mereka akan hanya biasa hidup di hutan sehingga dalam kemampuannya untuk memanjat pohon lebih dari dibutuhkan daripada berjalan dengan dua kaki layaknya seperti manusia.

Tanpa adanya otak yang besar dan dalam menghabiskan energi sekalipun, penelitian ini juga telah menunjukkan kalau simpanse dan bonobo mampu membangun sarang mereka sendiri, dengan menggunakan alat yang memang sangat belum sempurna, menghargai keindahan, dan menangisi kematian komunitasnya.

“ Ketika kita melihat saudara kera sekarang, mereka baik-baik saja berperilaku seperti kera. Mereka melakukan apa yang dilakukan oleh simpanse, orangutan, dan gorila; dan mampu bertahan hidup tanpa menjadi manusia, Tentunya itu dengan catatan manusia tidak menggunduli seluruh hutan mereka dan mengeluarkan mereka dari habitat aslinya. Namun, itu adalah masalah yang berbeda ”.  Tambahnya.

No comments:

Post a Comment